Manut Lan Nrimo: Kisah Kopi Pahit di Balik Pembongkaran Lapak Tirtosari Kediri

Kediri,Montera.co.id— Aroma kopi pagi yang biasanya mengepul hangat di Jalan Tirtosari, kini berganti bau debu dan gesekan kayu. Kawasan yang selama bertahun-tahun menjadi denyut nadi ekonomi kaki lima di Kelurahan Tosaren, Kecamatan Pesantren, Kota Kediri, sedang bertransformasi.

​Namun, yang membuat kisah ini berbeda bukanlah palu godam petugas, melainkan semangat manut lan nrimo (patuh dan menerima) dari para pedagang itu sendiri.

​Sejak Sabtu (29/11/2025), proses pembongkaran lima lapak pedagang kaki lima (PKL) di ruas Jalan Tirtosari berlangsung senyap, tertib, dan mengharukan. Mereka tak menunggu surat peringatan keras, apalagi melibatkan gesekan. Para pedagang, dengan kesadaran penuh, membongkar lapak dagangannya secara mandiri.

​Surat Perjanjian dan Secangkir Keikhlasan Mbah Di
​Salah satu yang paling terdampak adalah Sukadi (atau akrab disapa Mbah Di). Warung kopi sederhana miliknya telah menjadi saksi bisu pasca-pandemi, tempat warga mencari secangkir kehangatan dan cerita sejak 2021.

​Sambil menarik atap seng dan merapikan rangka kayu warungnya, Mbah Di berujar dengan nada legowo.

​“Warung saya ikut terdampak. Tapi kami sudah tahu dari awal, karena dalam surat perjanjian tertulis bisa diminta dibongkar kapan saja. Jadi kami manut (patuh) dan tidak ada tuntutan,” ungkap Sukadi.

​Kalimat itu bukan sekadar formalitas. Itu adalah cerminan kearifan lokal yang menghargai perjanjian dan memahami bahwa rezeki tak hanya bersemayam di satu titik. Kesepakatan awal bahwa penggunaan lahan bersifat sementara, menjadi pegangan kuat yang memupus potensi konflik.

​Bergerak ke Utara, Asa Tetap Menyala
​Kawasan Tirtosari yang kini kosong akan difokuskan untuk pembangunan kantor KMP (Kelurahan Merah Putih) yang memang menjadi program penataan ruang Pemerintah Kota Kediri.

​Lantas, ke mana perginya rezeki Mbah Di dan kawan-kawan?
​Mereka tidak berhenti. Dengan peralatan seadanya, mulai dari atap seng hingga gerobak, para PKL terlihat memindahkan seluruh perabotan usahanya ke arah utara Sumber Bulus. Relokasi ini adalah strategi adaptif: mematuhi tata ruang kota sekaligus memastikan roda ekonomi keluarga tetap berputar.

​Pemandangan di lapangan menjadi gambaran ideal dari sebuah penataan ruang kota: pedagang dengan sigap menurunkan atap, merapikan rangka, dan memindahkan dagangan. Itu adalah sebuah aksi kolektif yang menunjukkan bahwa penertiban paling efektif adalah yang lahir dari kesadaran, bukan paksaan.

​Dengan langkah kooperatif dan humanis ini, Pemerintah Kota Kediri optimis penataan kawasan Tirtosari akan berlangsung cepat, lancar, dan tanpa mengorbankan martabat warganya. Di utara Sumber Bulus, Mbah Di siap menyeduh kembali kopi dengan cerita baru, ditemani spirit manut lan nrimo yang ia bawa dari warung lamanya.(Dan)

Pos terkait

banner 300x250

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *