Kediri,montera.co.id – Lembaga Bantuan Hukum Iro Yudho Wicaksono Soroti mafia tanah didesa Jabon Kecamatan Banyakan.
Istilah mafia tanah menjadi populer di kalangan masyarakat setelah munculnya beberapa kasus tanah di Indonesia.
Salah satu kasus sengketa tanah yang LBH Iro Yudho Wicaksono tangani sekarang. Aset milik Saeran alias Oto, yang berkisar senilai Rp30 miliar raib berpindah tangan atau dirampas pihak lain diduga dilakukan oleh atas nama Karmidjan dan melibatkan banyak pihak.
Menurut Muhammad Taufiq S.H, Ketua DPD Jatim LBH Iro Yudho Wicaksono, mafia tanah merupakan salah satu bentuk kejahatan di bidang pertanahan yang dilakukan oleh sekelompok orang yang saling bekerja sama untuk memiliki ataupun menguasai tanah milik orang lain secara tidak sah. Para pelaku menggunakan cara-cara yang melanggar hukum yang dilakukan secara terencana, rapi, dan sistematis.
“Para pelaku mampu merekayasa bukti-bukti kepemilikan karena melibatkan pejabat di bidang pertanahan seperti Notaris/PPAT, BPN dan pemerintah desa dan mampu membuktikan secara autentik penguasaan dan kepemilikan saat berperkara di pengadilan,” ungkapnya.
Akibatnya, terjadilah tumpang tindih kepemilikan tanah. Taufiq menjelaskan, modus mafia tanah melakukan kejahatannya dapat melalui pintu masuk tumpang tindih kepemilikan tanah melalui cara-cara tertentu, pertama memanfaatkan putusan pengadilan sebagai dasar perolehan hak yang didalamnya terdapat unsur permufakatan jahat dengan menggunakan dokumen palsu yang telah disusun oleh oknum aparatur desa dan oknum Notaris/PPAT sebagai bukti dengan tujuan ditetapkan sebagai pemilik yang sah oleh Hakim.
“Di desa Jabon ini, saya selaku kuasa hukum ahli waris Saeran alias Oto, menduga dan menyoroti adanya mafia tanah,” terangnya. Selasa (26/8/2025) siang.
Dalam pantauan dilapangan, LBH Iro Yudho Wicaksono sudah lakukan upaya mediasi kepada Kepala Desa Jabon, namun, 2 kali kirim surat klarifikasi maupun somasi dan dua kali ditemui tidak pernah ditanggapi ataupun dibalas, bahkan, hari ini kita datangi ke kantor Balai Desa Jabon tidak ditemui juga, disini di duga ada penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh Kepala Desa Jabon dan dugaan menghambat UU Keterbukaan Informasi Publik yang di atur dalam UU Nomor 14 Tahun 2008.
Hanya ditemui oleh Anang S, Sekertaris Desa Jabon yang sudah menjabat sekitar 2 tahun ini mengatakan,”Tidak tahu menahu urusan dengan pak Kades, saya sudah menelponya juga tidak diangkat,” dalih Sekdes.
Setelah tidak ditemui oleh Kades Jabon, Taufiq selanjutnya menemui Camat Banyakan, minta kejelasan sekaligus mediasi untuk dipertemukan oleh Kades Jabon agar masalah tidak berlarut.
“Di Kantor Kecamatan Banyakan, kami ditemui oleh Mugiono, bagian Trantib sekaligus pengaduan, hasilnya,” dibuatkan notulensi untuk disampaikan kepada camat banyakan,” jelas Taufiq, sembari terheran-heran kok begini ya pelayanannya, diruang pengaduan kami hanya ngobrol lisan, tidak administratif (dibuat aduan masyarakat resmi).
Perlu diketahui, Ahli waris Saeran tuntut kejelasan berpindahnya kepimilikan hak berdasarkan surat Penegasan Konversi Tanah Gogolan menjadi hak milik sejak tanggal 24 September 1960 kepada Karmidjan(Alm)
“Saya pegang bukti itu, dan menemukan keanehan, karena surat tersebut diduga ada pergantian secara sengaja oleh oknum, contoh, ketikannya dihapus stipo dan ukuran font tidak sama,” tandas Taufiq.
Mafia tanah adalah kelompok terorganisir yang melakukan kejahatan pertanahan dengan cara-cara curang, seperti pemalsuan dokumen, penipuan, atau manipulasi data, untuk mengambil alih kepemilikan tanah secara ilegal. Mereka bekerja dalam struktur yang terdiri dari kelompok sponsor, pelaksana di lapangan (garda terdepan).
Ancaman Hukum Mafia Tanah
Pasal 263 KUHP :
Pemalsuan dokumen diatur dalam Pasal 263 KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) lama dan Pasal 391 UU 1/2023 (Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana baru). Pasal-pasal ini mengatur sanksi pidana bagi orang yang membuat atau menggunakan dokumen palsu yang dapat menimbulkan hak, perikatan, atau pembebasan utang, atau sebagai bukti suatu hal, dan digunakan seolah-olah isinya benar dan tidak palsu.
Pasal 266 KUHP
Setiap orang yang membuat atau menyuruh untuk dibuat suatu akta otentik atau palsu tentang perbuatan yang menurut hukum dilarang atau suatu perbuatan yang tidak benar, dengan maksud agar akta itu dipergunakan sebagai alat bukti, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun.
Pasal 242 KUHP adalah tentang pidana memberikan keterangan palsu di bawah sumpah, di mana seseorang yang dengan sengaja memberikan keterangan tidak benar di bawah sumpah (baik lisan maupun tulisan) dapat dihukum penjara. Pidana penjara dapat mencapai tujuh tahun, dan bisa lebih lama (sembilan tahun) jika keterangan palsu itu merugikan terdakwa atau tersangka dalam perkara pidana.
Pasal 385 KUHP adalah bagian dari hukum pidana lama (KUHP Lama) yang mengatur tentang tindak pidana penyerobotan tanah atau harta tidak bergerak, yang dikenal sebagai kejahatan stellionaat. Tindakan ini meliputi menjual, menyewakan, menggadaikan, atau menukarkan hak atas tanah atau harta tidak bergerak milik orang lain secara melawan hukum untuk keuntungan pribadi atau orang lain. Pelaku yang terbukti melanggar pasal ini dapat dijatuhi pidana penjara.
Kami LBH Iro Yudho Wicaksono hadir untuk membantu masyarakat demi tegaknya keadilan agar Hukum tidak tumpul ke atas tajam ke bawah. (Chap/Al)